Selamat Datang di web blog anak muda Indonesia... Semoga apa yang kami sajikan bermanfaat untuk anda... Salam blogger Indonesia...

Senin, 08 April 2013

MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR



MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR
Tentang
Kebudayaan Masyarakat Ambon
Oleh
Fathul Bahrul Ulum Tan 52412802
Dosen Pembimbing
ANDI TENRISUKKI TENRIAJENG
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di karenakan setiap masyarakat/suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan suku liannya.
Masyarakat Ambon, adalah salah satu masyarakat Indonesia yang berada di kawasan Maluku. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang menjadi penanda keberadaan suatu masyarakat/suku.
Begitu juga dengan masyarakat Ambon yang memiliki karekteristik kebudayaan yang berbeda. Keunikan karakteristik suku Ambon ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.
Suku Ambon dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik untuk dipelajari dalam bidang kajian mata kuliah Pluralitas dan Integritas Nasional yang pada akhirnya akan menjadi bekal ilmu pengetahuan bagi kita dalam hal kebudayaan.
  1. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
Ø Agar pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat Ambon.
Ø Agar pembaca dapat memahami salah satu bentuk masalah sosial yang ada dalam masyarakat Ambon.
Ø Agar pembaca dapat menelaah sistem interaksi dalam kehidupan keseharian masyarakat Ambon.
Ø Agar pembaca dapat mengetahui akan stratifikasi yang ada dalam kehidupan masyarakat Ambon.
Ø Agar pembaca mengetahui bagaimana kehidupan beragama masyarakat Ambon.
  1. Manfaat
Manfaat penulisan setelah menulis makalah ini yang bisa diambil oleh kelompok kami diantaranya adalah;
Ø Mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan Ambon.
Ø Bertambahnya wawasan tenang keberagaman kebudayaan Indonesia.
Ø Menciptakan rasa toleransi antar semua suku.
  1. Metode
Data penulisan makalah ini diperoleh melalui studi kepustakaan. Metode studi kepusatakaan yaitu suatu metode dengan cara membaca dan menelaah buku pustaka tentang kebudayaan Ambon.
          Selain itu kelompok kami juga memperoleh data dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Kondisi Geografis dan Demografis
Pulau ambon merupakan salah satu pulau dari kepulauan Maluku, suatu kepulauan yang terletak antara pulau Irian di sebelah timur, pulau Sulawesi di sebelah barat, lautan Teduh di sebelah utara, dan lautan Indonesia di sebelah selatan. Maluku dapat dibagi nenjadi Maluku Utara yang meliputi pulau Marotai, Halmahera, Bacan, Obi, Ternate dan Tidore, dan Maluku Selatan meliputi Seram, Buru, Ambon, Banda, Kepulauan Sulu, Kei, Aru, Tanimbar, Barbar, Leti dan Wetar.
          Penduduknya yang pada umumnya tinggal di pantai-pantai adalah campuran dari penduduk asli dan orang-orang pendatang berasal dari berbagai pulau, seperti orang Bugis, Makasar, orang Buton dan dahulu banyak orang Jawa yang bertempat tinggal di Maluku. Penduduk yang tinggal di daerah pegunungan merupakan penduduk yang asli.
          Gejala isolasi di antara pulau-pulau menyebabkan perbedaan-perbedaan yang khas diantara berbagai bagian dari kepulauan Maluku. Misalnya saja, di pantai barat Halmahera, orang Tobaru tidak mengerti bahasa orang Sau dan sebaliknya orang Sau tidak mengerti bahasa orang Tobaru. Mereka terpaksa memakai sebagai bahasa pengantar bahasa Ternate. Pada umumnya bahasa-bahasa dari kepulauan Maluku termasuk bahasa Austronesia, kecuali bahasa-bahasa di Halmahera, seperti misalnya bahasa Ternate dan Tidore.
          Kecuali bahasa juga tentang unsur-unsur kebudayaan lainnya, masing-masing pulau atau penduduk suatu pulau di Maluku, telah mengembangkan kebudayaannya sendiri. Orang Tobelo di Halmahera dengan orang Tobaru, mempunyai kebudayaan yang berlainan dan demikian juga dengan orang Sau, padahal ketiga-tiganya hidup di satu pulau. Demikian pula orang-orang Aru, Bacan, Ambon, Banda, Kei, semuanya mempunyai ciri-ciri khas kebudayaan sendiri-sendiri, walaupun tentu saja ada juga banyak unsur-unsur dan malahan azas-azas dari kebudayaan-kebudayaan mereka yang sama.
          Karena terlampau ada banyak variasi, padahal ruang yang tersedia dalam bab ini hanya terbatas maka terpaksa kami membatasi diri dalam menguraikan kebudayaan Maluku itu, kepada kebudayaan Ambon. Mengenai kebudayaan itu, tersedialah cukup banyak bahan yang baru. Istilah orang Ambon disini, dipakai untuk penduduk dari pulau Hitu, Ambon, Haruku, Saparua, dan Seram Barat.
Hasil sensus penduduk tahun 1971, menunjukkan jumlah penduduk provinsi Maluku seluruhnya 1.088.945 jiwa. Maluku Tengah saja penduduknya berjumlah 378.870 jiwa, yautu 194.145 laki-laki dan 184.725 perempuan; sedangkan angka-angka cacah jiwa pulau Ambon tahun 1959 dengan pengecualian Kotapraja Ambon, adalah 80.364 orang. Dari jumlah itu 51% beragama Kristen Protestan (aliran reformasi) dan 49 % beragama Islam.
  1. Peralatan dan Perlengkapan Hidup
Peralatan dan perlengkapan orang orang Ambon dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Peralatan pada zaman dulu dan peralatan zaman sekarang.
  1. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Orang-orang Ambon pada umumnya mayoritas mereka bertani di ladang. Dalam hal ini, sekelompok orang membuka sebidang tanah di hutan, dengan cara menebang pohon – pohon di hutan dan dengan membakar batang – batangnya serta dahan yang telah kering. Ladang yang dibuka dengan cara ini hanya diolah dengan tongkat, kemudian ditanami tanpa irigasi kemudian ditanami kacang-kacangan dan ubi ubian.
          Makanan mayoritas orang Ambon adalah sagu, tapi zaman sekarang beras sudah biasa mereka makan, tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Pohon sagu tidak perlu ditanam dan dipelihara karena pohon sagu telah berkembang dan hidup di pulau pulau Maluku serta di rawa rawa juga sangat banyak.
          Di daerah lereng lereng gunung orang juga menanam kentang walaupun hasilnya tidak banyak, kebiasaan menanam kentang itu berasal dari orang orang Belanda, tanaman pengaruh orang Belanda adalah kopi yang banyak tumbuh di Lisaba, Amahai, dan Manipa.
          Banyak penduduk menanam tembakau untuk dipakai sendiri, mereka menanam di pekarangan rumah, dibawah cucuran atap sehingga kalau turun hujan, air hujan tersebut langsung menyiram tanaman tembakau tersebut, daun tembakau lebat dan kuat. Orang membuat tembakau dengan memotong motong halus daun tembakau tersebut kemudian dijemur di terik mentari supaya kering.
          Orang Ambon juga menanam tebu, singkong, jagung, dan kacang kacangan. Sedangkan buah buahan yang ditanam antara lain pisang, mangga, manggis, gandaria, durian, cengkih juga ditanam oleh orang Ambon. Cengkih sangat mudah perawatannya tetapi harganya cukup tinggi.
          Hasil bumi tersebut bila berlebih akan dijual kepada orang lain, dengan demikian orang tersebut mendapat upah dari hasil penjualan, serta memperoleh uang untuk membeli kebutuhan sehari hari, bayar pajak, membiayai sekolah anak anak mereka serta membeli alat alat pertukangan.
          Di samping pertanian, orang Ambon juga memburu rusa, babi hutan, dan burung kasuari. Mereka menggunakan lembing yang dilontarkan dengan jebakan dan dengan cara memburu secara langsung mengunakan panah atau senjata api.
          Penduduk di daerah pantai mayoritas mereka adalah nelayan dan menangkap ikan. Perahu mereka dibuat dengan satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik, perahu ini dinamakan dengan perahu semah. Perahu yang baik adalah perahu yang terbuat dari papan dan dibuat oleh orang Ternate, dinamakan pakatora. Perahu perahu besar untuk berdagang dinamakan jungku atau orambi.
D. Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Bentuk Desa di Ambon Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah-rumah itu disebut "Soa". Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa "Soa" yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan "Aman". Kumpulan dari beberapa "Aman" disebut dengan "Desa" yang juga disebut dengan "Negari" dan dipimpin oleh seorang "Raja" yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, "negari-negari" ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
E. Sistem Kemasyarakatan
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain.Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah "pela". Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987,hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuat pun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya "Pela (Gandong)" bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku(Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap "Soa" dipimpin oleh seorang kepala "Soa", yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan "Soa" yang disebut dengan "Negari", dipimpin oleh seorang "raja" yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun "raja" diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa "Sanitri" atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
· Tuan tanah
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
· Kapitan
Seseorang yang ahli dalam peperangan
· Kewang
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
· Marinyo
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
· Patalima
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur.Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
· Jajaro
Organisasi kewanitaan Suku Ambon
· Ngungare
Organisasi kepemudaan
· Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.
· Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
· Pela Makan Sirih
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid,gereja, dan sekolah
· Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
· Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempat tinggal di sebelah barat sungai Mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam warga-warganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian Pela
Pela berasal dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa pela adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum darah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang.
Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm184).
Jenis-Jenis Pela
a) Pela Keras atau Pela Minum Darah. Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat "persaudaraan darah" untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan.Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:- tidak boleh menikah- saling membantu dan memikul beban. Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batu karang.
b) Pela Lunak atau Pela Tampa Sirih. Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memaka idarah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin rebut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desapada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
c) Pela Ade Kaka. Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnyapela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengangkat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pelayang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh.
F. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal, yang diiringi dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih, adalah matarumah atau fam, yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrillineal. Matarumah merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para isteri dari laki-laki yang telah kawin. Dengan kata lain matarumah merupakan satu klen kecil patrillineal.
          Matarumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah dati yaitu tanah milik kerabat patrillineal.
          Di samping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilineal itu, ada kesatuan lain yang lebih besar yang bersifat bilateral, yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu, yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata-rumah asli, ialah semua keturunan dari keempat nenek moyang.
          Perkawinan menurut adat merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan yaitu matarumah dan famili yang ikut menentukan dalam fungsi penyelenggaraan dari perkawinan itu. Perkawinan di sini sifatnya exogami, yaitu seseorang harus kawin dengan orang di luar klinnya. Mereka mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu kawin lari, kawin minta, dan kawin masuk.
          Kawin lari atau bini lari adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini disebabkan orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jalan pendek, untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Oleh karena itu kawin lari sebenarnya dipandang kurang bail dan kurang diinginkan oleh pihak kaum kerabat perempuan. Dan sebaliknya lebih disukai oleh kaum laki-laki, terutama karena pemuda itu menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan juga menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan juga menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga pihak perempuan.
          Biasanya kawin lari ini dengan sepengetahuan orang tua si gadis. Bahkan kerap kali juga kawin lari justru disarankan oleh orang tua si gadis agar menyingkat waktu dan mengurangi harta kekayaan yang harus dikeluarkan dalam kawin minta.
          Bentuk perkawinan yang kedua ialah kawin minta. Kawin minta terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan isteri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengmpulkan anggota famili untuk membicarakan hal itu dan membuat rencana perkawinan. Di sisni diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Kalau semua sudah setuju, kemudian dikirimkan surat atau delegasi ke orang tua si gadis untuk minta waktu bagi kunjungan melamar. Orang tua gadis mengirimi kabar kembali dengan waktu dan harinya. Apabila orang tua si gadis menunjukkan ketidak setujuannya, maka pendekatan ini dibatalkan. Namun hal ini jarang terjadi, karena biasanya keluarga pria telah memperhitungkan jawabannya. Tentu saja antara si pemuda dengan si gadis sudah ada kepastian bahwa orang tua si gadis itu akan menerimanya. Kalau tidak, tentulah disarankan kawin lari.
          Bentuk perkawinan yang ketiga ialah kawin masuk atau kawin manua. Pada perkawinan ini pengantin laki-laki tinggal dengan keluarga wanita. ada tiga sebab utama terjadinya perkawian semacam ini. Alasan pertama ialah bahwa kaum kerabat si pemuda tidak dapat membayar mas kawin secara adat; alasan kedua ialah bahwa si gadis hanya beranak tunggal, dan tidak punya anak laki-laki; alasan ketiga karena ayah dari si pemuda tidak sudi menerima menantu perempuannya, disebabkan oleh perbedaan status atau alasan lain.
  1. Bahasa Melayu Ambon
Bahasa Melayu berasal dari Indonesia bagian barat (dulu disebut Nusantara bagian barat) dan telah berabad-abad menjadi bahasa antarsuku di seluruh kepulauan nusantara. Sebelum bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ternate (Tahun 1512), bahasa Melayu telah ada di Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan.
Bahasa Melayu Ambon berbeda dari bahasa Melayu Ternate karena pada zaman dahulu suku-suku di Ambon dan yang tentunya mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu Ambon sangat berbeda dari suku-suku yang ada di Ternate. Misalnya bahasa Melayu Ambon mendapat banyak pengaruh dari bahasa Melayu Makassar. Kemudian pada abad ke-16, Portugis menjajah Maluku sehingga cukup banyak kosa-kata bahasa Portugis masuk ke dalam bahasa Melayu Ambon. Terakhir bangsa Belanda masuk ke Maluku, sehingga ada cukup banyak, kata serapan dari bahasa Belanda yang diterima menjadi kosakata dalam bahasa Melayu Ambon. Pada zaman Belanda inilah, bahasa Melayu Ambon dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, di gereja-gereja, dan juga dalam terjemahan beberapa kitab dari Alkitab.
Setelah bahasa Indonesia baku mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Maluku, maka ia mulai mempengaruhi bahasa Melayu Ambon sehingga sejumlah kata diserap dari bahasa Indonesia baku ke dalam bahasa Melayu setempat, tentu saja disesuaikan dengan logat setempat. Pada awalnya misionaris Belanda menerjemahkan injil dalam Bahasa Melayu dan dibawa ke Ambon. Disini para penduduk yang bisa menghafal injil itu kemudian dibaptis, dan terus dibimbing dalam bahasa Melayu. Bahasa ini dibawa kemungkinan dari Malaka, karena pada masa itu sudah ada kegiatan dagang antara Malaka dan Maluku. Pada awalnya, bahasa Melayu ini hanya dalam bentuk pasaran yang kemudian menjadi bahasa tutur anak-anak generasi selanjutnya. Menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Kristen Ambon dan sebagian kecil Muslim Ambon. Sedangkan kebanyakan masyarakat Muslim Ambon masih mempunyai bahasa daerah sendiri yang disebut bahasa tanah.
Struktur Bahasa Melayu Ambon ini juga agak berbeda dengan Melayu pada umumnya, namun lazim di Indonesia Timur. Struktur bahasanya sangat mirip dengan bahasa-bahasa di Eropa.. Seperti ini (kepemilikan):
Beta pung buku = Buku saya = My book
Susi pung kaka = Kakak susi = Susi's brother/sister
Ahmad ada pi ka Tulehu = Ahmad sedang pergi ke Tulehu
Ada orang dapa bunuh di kusu-kusu = ada orang dibunuh di Alang-alang
Katong jaga tinggal disini sa = kami tetap tinggal disini saja
Kemudian lafal juga mengalami nasalisasi terutama pada akhiran 'n'. Seperti berikut : makang (makan), badiang (diam), jang (jangan), ikang (ikan), lawang (lawan) dst
Untuk kata ganti orang adalah sebagai berikut : Beta (saya), ose (kamu) (dibeberapa daerah dikatakan 'os', atau 'se') - asal dari kata 'voce' Portugis, dia, katong (kependekan dari kita orang/ kita), dorang (kependekan dari dia orang / mereka), kamong atau kamorang (kamu orang/ kalian).
Ungkapan khas lainnya adalah: Ao e!, Mamae!, Sio Mama!, Tuang Ala!, Tuang Ana!, Ai!, Gaga Batul!, Maniso! dsb
Panggilan sosial :
  • Babang/ abang (kakak laki-laki : dipakai kalangan Muslim)
  • Caca (kakak perempuan: Muslim)
  • Usy (kakak perempuan Kristen)
  • Broer/ bung/ bu (kakak laki-laki dipakai kalangan Kristen)
  • Nyong (netral)
  • Bapa Raja (kepala desa)
BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Masyarakat Ambon tinggal di salah satu kepulaun maluku, Seram. Penduduk aslinya tinggal di perbukitan dan perdalaman pulau. Mereka tinggal berkelompok-kelompok yang dipimpin oleh seorang mata ruman dan family. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang Soa. Masyarakat yang tinggal di dalam suatu desa atau negeri dipimpin oleh seorang Raja.
Masyarakat Ambon memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pertania, perkebunan, dan perikanan. Hasil panen yang berlebih dari kebutuhan pokok mereka jual. Uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk membeli kebutua pokok lainnya.
Dalam pernikahan, masyarakat Ambon lebih senang terhadap kawin lari. Karena masyarakat Ambon lebih suka jalan pendek, untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara adat.
Masyarakat Ambon memiliki sebuah organisasi yang sangat berpengaruh dalam pengembangan pemangunan masyarakat desa, yaitu organisasi Pela. Pela sebuah organisasi / persatuan-persatuan persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih dal;am masyarakat Ambon bagian perdesaan. Organisasi ini tidak dibatasi oleh agama, siapapun boleh masuk asalkan masyarakat Ambon.
  1. SARAN
Kebudayaan yang dimiliki suku Ambon ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya. Dengan membuat makalah suku Ambon ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Ambon tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar